LAPORAN PENDAHULUAN KUSTA

 

LAPORAN PENDAHULUAN KUSTA

 

                                                                                                                        

 

 

 

 

Disusun Oleh:

ARDI RACHMAN FAUZI

 4012210019

 

 

 

 

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

STIKes BINA PUTERA BANJAR 2021

 

 

 

 

 

 

 

DEFINISI

Ø Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)

Ø Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)

ETIOLOGI

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

MANIFESTASI KLINIS

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:

1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.

2) BTA positif

Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.

3) Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

KLASIFIKASI

Dibagi menjadi 2 :

No.

Kelainan kulit & hasil pemeriksaan

Pause Basiler

Multiple Basiler

1.

Bercak (makula)

· jumlah

· ukuran

· distribusi

· konsistensi

· batas

· kehilangan rasa pada bercak

 

· kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak

· 1-5

· Kecil dan besar

· Unilateral atau bilateral asimetris

· Kering dan kasar

· Tegas

· Selalu ada dan jelas

 

· Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

· Banyak

· Kecil-kecil

· Bilateral, simetris

· Halus, berkilat

· Kurang tegas

· Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

 

· Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok

2.

Infiltrat

· kulit

· membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung

· Tidak ada

· Tidak pernah ada

· Ada,kadang-kadang tidak ada

· Ada,kadang-kadang tidak ada

3.

Ciri hidung

”central healing” penyembuhan ditengah

a. punched out lession

b. medarosis

c. ginecomastia

d. hidung pelana

e. suara sengau

4.

Nodulus

Tidak ada

Kadang-kadang ada

5.

Penebalan saraf tepi

Lebih sering terjadi dini, asimetris

Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris

6.

Deformitas cacat

Biasanya asimetris terjadi dini

Terjadi pada stadium lanjut

7.

Apusan

BTA negatif

BTA positif

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)

· Merupakan bentuk yang tidak menular

· Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi

· Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas

· Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah

· Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab

· Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

· Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain

· Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta

· Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga

· Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung

· Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit

· Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

PATOGENESIS

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

v Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.

3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:

a. Cuping telinga kiri atau kanan

b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain

5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a. Tidak menyenangkan pasien

b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain

c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.

d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta

b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta

c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat

d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali

7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett

8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

v Indeks Bakteri (IB):

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

v Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

PENATALAKSANAAN

1. TERAPI MEDIK

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

· DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

· Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah

· DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak

Klofazimin:

· Umur dibawah 10 tahun :

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/2kali/minggu

· Umur 11-14 tahun

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/3kali/minggu

DDS:1-2mg /Kg BB

Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. PERAWATAN UMUM

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

a) Perawatan mata dengan lagophthalmos

§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran

§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b) Perawatan tangan yang mati rasa

§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh

§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam

§ Keadaan basah diolesi minyak

§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus

§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c) Perawatan kaki yang mati rasa

§ Penderita memeriksa kaki tiap hari

§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

§ Masih basah diolesi minyak

§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

§ Jari-jari bengkok diurut lurus

§ Kaki mati rasa dilindungi

d) Perawatan luka

§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

§ Luka dibalut agar bersih

§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

1) Kulit halus dan berminyak

2) Tidak ada kulit tebal dan keras

3) Luka dibungkus dan bersih

4) Jari-jari bengkak menjadi kaku

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.

f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

DIAGNOSA

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

INTERVENSI

*Diagnosa 1

Ø Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Ø Kriteria :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan

2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Ø Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka

Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

*Diagnosa 2

Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang

Ø Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Ø Intervensi:

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri

*Diagnosa 3

Ø Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan

Ø Kriteria:

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

Ø Intervensi:

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

*Diagnosa 4

Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat

Ø Kriteria:

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Ø Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif

Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien

 

DAFTAR PUSTAKA

ü Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta

ü Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

ü Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta, 1995

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI PADA PENGGUNA ASUHAN KEPERAWATAN

LAPORAN PENDAHULUAN PENERIMAAN PASIEN BARU

LAPORAN PENDAHULUAN SINDROM NEFROTIK