LAPORAN PENDAHULUAN KUSTA
LAPORAN PENDAHULUAN KUSTA
Disusun Oleh:
ARDI RACHMAN FAUZI
4012210019
JURUSAN
ILMU KEPERAWATAN
STIKes BINA PUTERA BANJAR 2021
DEFINISI
Ø Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Ø Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan
oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
ETIOLOGI
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam
(BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ
lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali
susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan
masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila
terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
2) BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan
kulit.
3) Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
KLASIFIKASI
Dibagi menjadi 2 :
No.
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
Pause Basiler
Multiple Basiler
1.
Bercak (makula)
· jumlah
· ukuran
· distribusi
· konsistensi
· batas
· kehilangan rasa pada bercak
· kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok
pada bercak
· 1-5
· Kecil dan besar
· Unilateral atau bilateral asimetris
· Kering dan kasar
· Tegas
· Selalu ada dan jelas
· Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada
bercak
· Banyak
· Kecil-kecil
· Bilateral, simetris
· Halus, berkilat
· Kurang tegas
· Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang
sudah lanjut
· Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2.
Infiltrat
· kulit
· membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung
· Tidak ada
· Tidak pernah ada
· Ada,kadang-kadang tidak ada
· Ada,kadang-kadang tidak ada
3.
Ciri hidung
”central healing” penyembuhan ditengah
a. punched out lession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4.
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini, asimetris
Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6.
Deformitas cacat
Biasanya asimetris terjadi dini
Terjadi pada stadium lanjut
7.
Apusan
BTA negatif
BTA positif
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis
penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
· Merupakan bentuk yang tidak menular
· Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar
uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang
sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi
· Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf
lebih jelas
· Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih
sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah
· Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif,
berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab
· Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan
di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman
kusta cukup tinggi
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
· Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat
ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
· Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk
kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi
kuman kusta
· Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa
kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang
luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai
benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan
daun telinga
· Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya
cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang
rawan hidung
· Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada
fase lanjut dari perjalanan penyakit
· Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa”
(facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk
pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan
peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis
kusta basah.
PATOGENESIS
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler
(celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi,
penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan
derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih
sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh
karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
v Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai
berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling
aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan
kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit
yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikobakterium leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat
lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya
dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada
selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis
selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis
sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps)
atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan
pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada
3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
v Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
v Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap
seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi
hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
PENATALAKSANAAN
1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
· DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
· Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
· DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
· Umur dibawah 10 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
· Umur 11-14 tahun
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6
dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat
sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
2. PERAWATAN UMUM
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi
netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada
kemerahan atau kotoran
§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa
§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk
mencari tanda- tanda luka, melepuh
§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin
selama lebih kurang setengah jam
§ Keadaan basah diolesi minyak
§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak
kaku
§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda
tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
§ Penderita memeriksa kaki tiap hari
§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
§ Masih basah diolesi minyak
§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
§ Jari-jari bengkok diurut lurus
§ Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
§ Luka dibalut agar bersih
§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
1) Kulit halus dan berminyak
2) Tidak ada kulit tebal dan keras
3) Luka dibungkus dan bersih
4) Jari-jari bengkak menjadi kaku
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang
diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan,
alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat
dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan
pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah
terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat
imunisasi.
d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang
menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang
mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena
sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh
dan komplikasi yang diderita.
f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya
kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang
tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam
karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi
sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi
infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata
akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen
hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek
kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan.
Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak
dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras
dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf
tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika
dibiarkan akan atropi.
Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa
hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat
(penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi
gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati
kerontokan jika terdapat bercak.
DIAGNOSA
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan
dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan
dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang
berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
INTERVENSI
*Diagnosa 1
Ø Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Ø Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Ø Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada
jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi
proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi
inflamasi
Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi
pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi
inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan
inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan
khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari
tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses
penyembuhan
*Diagnosa 2
Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan
proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang
Ø Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan
proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur
hilang
Ø Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam
memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan
pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi
dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa
nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai
indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri
*Diagnosa 3
Ø Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan
kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Ø Kriteria:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Ø Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada
ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada
kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada
ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten,
diawali dengan pasif kemudian aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan
jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan
untuk memberikan periode istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien
terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang
terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat
untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
*Diagnosa 4
Ø Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan
tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat
Ø Kriteria:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa
harga diri negatif
Ø Intervensi
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan
tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan
dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal
terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu,
jangan memberikan kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan
memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung
terjadinya perilaku koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan
memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
DAFTAR PUSTAKA
ü Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,
Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta
ü Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran
Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
ü Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan
Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta, 1995
Komentar
Posting Komentar